Indonesia
tertinggal dari negara lain karena punya tiga masalah besar, masalah besar
pertama adalah “pendidikan”, masalah besar yang kedua adalah “pendidikan”, dan
masalah besar yang ketiga adalah “pendidikan”.
Begitulah
kutipan dari sebuah buku pendidikan yang saya baca sekitar tiga tahun yang
lalu. Kata “pendidikan” yang diulang sebanyak tiga kali seakan ingin mengatakan
bahwa, Indonesia punya pekerjaan rumah yang sangat besar untuk segera diselesaikan.
Masalah pendidikan yang begitu kompleks dan mencakup segala lini, tidak
memungkinkan pemerintah untuk bergerak sendiri menyelesaikanya. Perlu adanya
kerja sama semua pihak untuk segera turun tangan mengambil tindakan yang bisa
dilakukan sekecil apapun tindakan itu.
Berangkat
dari keresahan tersebut. Saya sadar, kata prihatin yang terucap dari mulut saya
tidak akan menyelesaikan masalah. Dan kebiasaan saling menyalahkan tanpa
memberikan solusi apapun bagi saya hanyalah akan menimbulkan masalah baru.
Gagasan-gagasan di kepala saya yang tidak ada aplikasinya pun hanyalah omong
kosong.
Pada
akhir tahun 2013. Saya yang saat itu berstatus mahasiswa pendidikan di
Makassar, mulai mempertanyakan peran saya, ”Apa yang bisa saya lakukan untuk pendidikan di Indonesia?” Namun,
kekeliruan saya saat itu adalah berpikir dan fokus pada tindakan-tindakan besar
yang akan saya lakukan. Salah satunya adalah keinginan saya yang sangat kuat
untuk mengikuti program mengajar di daerah pedalaman dan pelosok Indonesia.
Pikir saya, inilah cara terbaik untuk menjawab pertanyaan di kepala saya saat
itu.
Hingga
pada suatu sore. Setelah pulang dari kuliah, saya bertemu seorang gadis kecil
di sebuah daerah “kumuh” di Makassar. Gadis kecil itu memakai rok sekolah
berwarna merah, lalu saya menghampirinya,
“Hallo
adik, namanya siapa?” tanyaku, namun gadis kecil itu tidak menjawab.
“Baru
pulang sekolah yah? Masuk siang?” tanyaku lagi. Masih dengan respon yang sama. Gadis
kecil itu masih diam.
Di
pikiran saya, gadis kecil itu sedang malu-malu. Maka, mulailah saya melakukan
pendekatan dan mencoba mengakrabkan diri. Kini jarak kami cukup dekat.
“Adik
kelas berapa?”
Karena
saya tahu tidak akan ada respon balik, saya kemudian meluncurkan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Mungkin saja dia akan menjawab salah satu dari
beberapa pertanyaan yang saya ajukan. Hingga pada satu pertanyaan, yang menjadi pertanyaan
terakhir.
“Kenapa
roknya dipakai bermain? Nanti roknya kotor, besokkan masih mau dipakai!”
Gadis
kecil itu merespon, tatapannya berubah. Berubah menjadi sangat tajam ketika menatap. Ketika saya hendak melanjutkan pertanyaan, tiba-tiba saya melihat matanya
berkaca-kaca. Ia berbalik arah dan lari meninggalkan saya tanpa berkata sapatah
katapun.
Saat
gadis kecil itu telah menghilang dari pandangan, saya menghampiri anak-anak
lain yang sedang bermain di sekitar tempat itu. Saya tanyakan mengenai gadis
kecil tadi. Dan saya sangat terkejut
saat mendapatkan informasi dari salah seorang anak, yang mengatakan bahwa, “Dia
tidak sekolah kak. Dia pemulung, membantu orangtuanya”
Perasaan
saya bercampur aduk saat itu. Sedih dan merasa bersalah, karena saat itu saya
sadar, saya menggunakan kalimat yang tidak ingin ia dengarkan, mungkin menyakiti
hatinya. Perasaan bersalah itu semakin tumbuh karena saya tidak bisa meminta
maaf secara langsung. Sebab sejak saat itu, saya tidak pernah lagi bertemu
dengannya.
Hari
itu saya ingat betul, kesalalahan saya bukan hanya mematahkan hatinya mungkin
juga mematahkan impiannya untuk bersekolah. Kejadian tersebut menyadarkan saya
bahwa permasalahan pendidikan benarlah sangat rumit dan ada di mana-mana. Tidak
harus mencarinya hingga ke pedalaman dan pelosok Indonesia. Cukup membuka mata
lebar-lebar dan peka terhadap apa yang sedang terjadi di sekitar kita.
Sejak
saat itu, saya mengubah cara saya untuk menjawab pertanyaan “Apa yang bisa saya lakukan untuk pendidikan
di Indonesia?”. Saya berpikir untuk melakukan hal-hal yang sederhana yang bisa
saya lakukan di Makassar. Mulailah saya mencari gerakan dan komunitas yang
peduli terhadap pendidikan di Makassar. Dari media sosial, saya menemukan
sebuah komunitas yang bernama SIGi Mks (Sahabat Indonesia Berbagi) Regional
Makassar.
Setelah membaca sekilas
mengenai SIGi Makassar, saya merasa visinya dalam berbagi sesuai dengan apa
yang saya cari. Jika ditanya apa yang bisa saya bagikan, jawabannya apapun yang
saya miliki. Mulai dari hal yang paling sederhana, berbagi senyuman terbaik, berbagi
sedikit cerita, berbagi canda dan tawa, berbagi waktu luang, berbagi sedikit ilmu hingga berbagi
rezeki yang saya punya.
Setelah
mendaftarkan diri via online, saya mendapatkan informasi dari admin SIGi
Makassar mengenai pertemuan terdekat yakni RK, (Receh Kahuripan adalah sebuah
kegiatan mengumpulkan uang “Receh” setiap bulannya dari para relawan, yang
nantinya akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan berbagi di SIGi Makassar). Saya
lantas berpikir untuk mengajak salah satu teman kuliah saya saat itu, Nur Utami
alias Meche (Orang pertama yang saya “jebak” masuk ke komunitas SIGi Makassar).
Niat baikpun disambut dengan baik. Meche tertarik untuk ikut.
Hari
yang dinanti tiba, sore itu dengan bermodal uang receh seadanya dan semangat
berbagi, kami (Saya dan Meche) menelusuri jalanan kota Makassar menuju satu
tempat yang menjual makanan khas Jepang. Menurut informasi yang saya dapatkan,
di sanalah tempat SIGiers (sebutan
untuk para relawan SIGi) akan berkumpul.
Sesampainya
di tempat yang dimaksud, saya melihat seorang wanita berjilbab sedang duduk sendiri.
Di atas meja di hadapannya terdapat sebuah botol minuman yang ditempelkan logo “SIGi
Mks”, dari situlah saya tahu bahwa orang tersebut adalah SIGier. Kamipun menghampiri dan memperkenalkan diri. Indira Nur
Triyani, itulah nama dari SiGier yang
dengan baik hati menyambut kami. Ia menjelaskan secara singkat mengenai apa itu
SIGi dan kegiatan-kegiatannya apa saja yang dilakukan, sambari menunggu SIGiers yang lain datang ke tempat itu.
Dari
sanalah awal semangat berbagi itu mulai terasa. Lingkungan positif sangat
mempengaruhi kita untuk melakukan hal-hal yang positif. Saat bertemu para SIGiers, saya merasa semangat berbagi
itu muncul berkali-kali lipat. Yang kami lakukan memang tidak serta merta dapat
menyelesaikan masalah pendidikan yang begitu kompleks. Namun saya berharap, tindakan-tindakan
kecil yang berusaha SIGi Makassar lakukan dengan konsisten, suatu hari akan
berbuah hasil yang manis. Dan pertanyaan di kepala saya mengenai “Apa yang bisa saya lakukan untuk pendidikan
di Indonesia?” sedikit demi sedikit akan menemukan jalannya.
Bagi
saya, berbagi itu layaknya sebuah pilihan perjalanan. Banyak komunitas yang siap menjadi kendaraan. Dan saat itu, saya memilih komunitas SIGi Makassar
sebagai kendaraan saya. Selama berbagi bersama SIGiers, saya merasa berada di kendaraan yang benar. Kendaraan itu yang
akan membawa saya pada satu tujuan, bahagia.
Terima
kasih kepada SIGiers dan adik-adik
(yang pernah terlibat dalam kegiatan SIGi Makassar) untuk pengalaman yang
sangat berharga, meski dalam waktu yang sangat singkat, banyak pelajaran yang
bisa saya ambil. Bahkan pelajaran tersebut bagi saya lebih bermanfaat dari
teori-teori pendidikan yang saya dapatkan di perkuliahan (ini serius). Meskipun
saat ini saya berada di Kota yang berbeda, semangat berbagi SIGi Makassar masih
sangat terasa. Teruslah berbagi dan menginspirasi.
Terima
kasih juga untuk teman-teman yang pernah saya “jebak” bergabung di SIGi Makassar.
Jujur saja, saya memikirkan hal ini (“menjebak” kalian) sejak pertama kali saya
bergabung ke komunitas ini. Sebab saya tahu, saya tidak akan lama berada di
Makassar, dan berharap kalianlah yang akan melanjutkan semangat berbagi di sana
(heheheh, maafkan). Selain alasan itu, yang terpenting adalah saya tidak ingin
menjadi manusia egois, yang hanya ingin merasakan indahnya dan bahagianya
berbagi seorang sendiri. Itulah mengapa saya “menjebak” kalian, agar kalian
juga merasakan bahagia yang saya rasakan.
Terakhir,
untuk gadis kecil berrok merah, yang entah siapa namanya. Izinkan saya meminta
maaf atas kesalahan saya. Tidak ada niatan untuk mematahkan impianmu. Semoga
dengan saya berusaha merajut impian-impian teman-temanmu yang lain, yang sama
membutuhkannya denganmu, kesalahan saya bisa kamu maafkan. Dimanapun kamu
berada, terima kasih telah menjadi penyemangat tersendiri untuk saya. Semoga
akan ada hari baik dan cerita yang baik saat kita bertemu nanti.
Paling
akhir, untuk semua yang membaca tulisan ini, mohon doanya untuk “kelahiran”
adik baru dari SIGi_Mks di sini. Terima kasih.
#JadilahOrangHebatYangBergerakKetikaTergerak
#BerbagiTakAkanMembuatmuRugi
#SalamSIGiCeria
Palu,
21 April 2016 - Ina Novita