Di sebuah desa, berdirilah gubuk kecil yang letaknya tidak jauh dari jalan raya. Gubuk itu berdinding papan yang berlubang, hingga seukuran kepala orang
dewasa. Beralaskan tanah tidak rata serta bergelombang. Atapnya tidak
menempel dengan sempurna. Sehingga saat angin bertiup, atap gubuk tersebut
seakan menari mengikut arah angin, menimbulkan bunyi yang sudah
tentu tidak merdu di telinga. Meski begitu, atap gubuk tersebut seperti enggan lepas. Seakan
Tuhan telah menakdirkannya menjadi salah satu saksi bisu, yang kalau ditanya ia tidak akan bisa memberikan sedikitpun informasi.
Gubuk itu bernama sekolah.
Tepat di hadapan gubuk tersebut, berdiri dengan gagahnya sebuah tiang yang terbuat dari bambu. Di puncak tiang tersebut terdapat benda yang sakral bagi negara kita, bendera Merah Putih. Tiang dan gubuk itu seperti dua insan yang saling melengkapi dan saling menyemangati. Meski sama-sama sulit untuk tetap berdiri, tapi mereka sangatlah
beruntung. Sebab, mereka bisa melihat langsung potret pendidikan di
daerah pedalaman. Tidak hanya itu, mereka juga selalu setia menyambut pahlawan (tanpa tanda jasa) yang sedang memperjuangkan pendidikan.
Gubuk itu bernama sekolah.
Sebab, semua sekolah selalu istimewa. Maka seperti sekolah lainnya, gubuk itu pun sama istimewanya. Kursi, meja, papan tulis, semuanya ada. lihatlah!
Gubuk itu bernama sekolah.
Namun, tak layak disebut sekolah.
Jika hakikatnya membangun sekolah adalah membangun generasi bangsa. Lalu, mengapa kita hanya diam saja melihat ini terjadi di sekitar kita?
Loc: SD BK Kelas Jauh, Dongi-Dongi, Sulawesi Tengah.
(12 Desember 2015)
Palu, 12 Mei 2016 -Ina Novita-