Senin, 12 Desember 2016,
bertempat di auditorium Universitas Tadulako, saya menghadiri sebuah seminar
kepenulisan nasional yang bertemakan “Menggugah jiwa menulis dari kisah
inspiratif”. Seperti kebanyakan peserta lain, saya sangat antusias mengikuti
seminar tersebut, karena seminar yang diadakan oleh UKPM FKIP Untad itu
menghadirkan narasumber seorang penulis “misterius”. Kenapa saya menyebut
beliau misterius, sebab beliau sudah menulis 26 buku dan beberapa diantaranya
menjadi best sellers, tapi beliau sangat jarang terlihat, hehehe. Berbeda
dengan karya-karyanya yang sering kita kutip untuk jadikan status dan berkata
dalam hati “ah, ini saya banget!”,
atau kita jadikan caption meskipun
fotonya nggak nyambung dengan
kutipannya (ini saya, bukan kalian).
Sedikit
bercerita, Saya “tahu” Tere liye sejak kuliah, tapi saat itu saya bukan
termaksud penikmat novel-novel beliau. Beberapa kali saya melihat kutipan
tulisan-tulisan beliau berkeliaran di dunia maya, novel karya beliau dibeberapa
rak buku teman saya atau di toko buku sekalipun, namun, saat itu belum ada niat
untuk membacanya. Sampai akhirnya, sekitar satu tahun lalu, saya “mencoba”
membeli, hmm lebih tepatnya menitip kepada Bapak saya yang kebetulan sedang
berada di luar kota (bahasanya sih nitip padahal modus mau yang gratisan,
hahah) untuk mengole-olei saya novel
“Hujan” yang saat itu sedang heboh-hebohnya. Dan mungkin saat itu “hujan”
menjadi rekor baru saya dalam membaca novel, hanya dalam sehari habis saya “lahap”,
tepatnya selesai sekitar jam 1(an) malam. Kalimat pertama setelah saya membaca
novel itu ialah “kenapa tidak dari dulu
saya membaca tulisan-tulisannya”. Hhmm, begitulah, penyesalan memang selalu
datang belakangan. Sebab kalau dia datang di awal, namanya bukan penyesalan
tapi niat ^^. Dari situ, saya kemudian membeli novel-novel karya beliau
lainnya, seperti Bulan, Bumi, Aku, Kau dan Sepucuk Ampau Merah, Rindu, dan yang terakhir Tentang Kamu. Sekarang lagi incar si Matahari, kalau ada yang ingin kasih sebagai
kado (meskipun ulang tahun saya masih beberapa bulan lagi), dengan senang hati
saya akan menerimanya. Huahhaha. Ok, itu sedikit cerita saya, kembali ke
laptop.
Seminar itu adalah kali pertama
saya melihat langsung Bang Tere liye, tetapi saya sempat beberapa kali menonton
seminar beliau di kota lain via youtube.
Dari tontonan itu, saya bisa membangun kesan seperti apa sosok beliau. Seseorang
yang suka tampail sederhana dengan baju koas, sandal (tumben seminar di Untad
beliau pakai sepatu. Hehehe, damai, Bang) dengan ciri khas topi kupluknya (Ini justru nggak dipakai waktu seminar di Untad). Selain
itu, Saya juga sering mendengar kalimat-kalimat beliau di awal seminar (masih
dari youtube), seperti kalimat
pertama yang selalu ingin meyakinkan peserta, “Kalian yakin yang di hadapan
kalian ini Tereliye?” kemudian dilanjutkan dengan “Yah kan, siapa tahu saja
panita nemu orang di jalan terus dibawa kesini” (hahaha, ada-ada saja).
Begitulah saking tidak terkenalnya
sosok, Bang Tere liye ini. “Nanti yang bawa buku, selesai seminar bukunya saya
tanda tangan, tapi tidak ada sesi foto bareng. Kalian bisa foto saya saat saya
tanda tangan buku kalian, tapi saya tidak akan melihat ke kamera” begitu
katanya. Mungkin ini penyebab kenapa sosok Bang Tere liye jarang dikenal orang.
Tidak ingin difoto.
Sepertinya pembahasan sudah
melenceng dari judul awal, hihihi. Baiklah, langsung saja. Saat sesi pemaparan
dari Bang Darwis yang lebih dikenal dengan Bang Tere liye, beliau sempat
bercerita mengenai awal mula beliau menulis, dari mengirim tulisan ke majalah
bobo, kompas, hingga penerbit. Jangan tanya berapa kali ditolak sebelum tulisan
beliau dikenal seperti sekarang ini. Saya jadi ingat tulisan di novel terakhir
beliau, Tentang Kamu. Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita
bangkit 1001x. Seperti itulah, beliau bukan penulis instan, hobi menulisnya
sudah tumbuh sejak beliau duduk di Sekolah Dasar.
Dan pada seminar kepenulisan itu,
beliau berbagi tips menulis kepada peserta yang saat itu didominasi oleh kaum
hawa.
Pertama, Topik/tema bisa apa
saja, tapi penulis yang baik selalu menemukan sudut pandang yang menarik. Hal
pertama yang biasanya kita lakukan saat akan menulis adalah menentukan
topik/tema tulisan. Topik/tema bisa apa saja, mungkin sesuatu yang kita sukai
atau bahkan sesuatu yang sedang trend.
Dari situ, tidak jarang banyak orang melakukan hal yang sama yakni menulis
dengan topik/tema yang sama dengan yang akan kita tulis. Nah, Bang Tere liye
mengajak kita untuk menemukan sudut pandang yang menarik pada topik/tema yang
akan kita tulis, yang masih jarang dilakukan oleh kebanyakan orang.
Kedua, Butuh amunisi. Tidak
ada amunisi, tidak bisa menulis. Amunisi yang Bang Tere liye maksud di sini
adalah ide atau inspirasi. Kita pasti pernah mengalami saat dimana berencana
untuk menulis sebuah tulisan, namun saat kita sudah di depan laptop, kita
kebingungan mau menulis apa. Atau mungkin kita sudah memiliki topik/tema, namun
kita bingung mau menuliskannya mulai dari mana. Atau, adalagi yang biasa kita
alami, menulis satu kalimat tetapi kemudian dihapus lagi, menulis dua kalimat
lalu menghapus satu kalimat, dst (Ini saya lagi, bukan kalian). Alhasil
berjam-jam di depan laptop, tulisan belum kelar juga.
Nah, Bang Tere liye punya cara
agar stok amunisi kita banyak. Pertama, harus
banyak membaca, ini sih wajib yah, kalau mau nulis yah harus rajin baca. Bagaimana
dengan yang nggak suka baca? tenang,
Bang Tere liye punya cara kedua, yaitu
lakukan perjalanan. Tulisan yang kita buat setelah melihat sendiri
kejadian, peristiwa atau apapun itu, hasilnya akan berbeda dengan tulisan yang
dibuat atas dasar khayalan atau imajinasi tentang sesuatu. Singkatnya sih, yang
lihat langsung pasti lebih tahu dan lebih bisa menggambarkannya melalui tulisan.
Dari pemaparannya, terungkap sebuah fakta bahwa ini ternyata kali kedua Bang
Tere liye ke Palu (Saya pikir ini kali pertamanya), beliau pernah menjelajahi
pulau Sulawesi (2002 atau 2004 yah? Maaf saya lupa >_<). Pantas saja, di
salah satu novelnya, Rindu, Bang Tere liye sempat memention Kota Palu dan Tolitoli J.
Lanjut. Kalau cara kedua juga belum bisa kita lakukan, kita bisa pakai cara terakhir, yakni bertemu dengan orang-orang bijak. Oy, jangan salah, Bang Tereliye
bukan orang yang ahli dalam hal “melepaskan”
dan “Cinta sejati” seperti
tulisan-tulisannya. Jadi ceritanya, Bang Tere liye sejak kecil suka berdialog/berdiskusi
dengan orang yang lebih tua (a.k.a bijak). Sehingga, beliau sedikit banyak
telah menyerap kejadian-kejadian dari lawan bicaranya. Nah, dari situlah Bang
Tere liye punya amunisi buat tulisan-tulisan yang selalu sukses bikin kita baper, hihihi. Pesan Bang Tereliye,
Jangan jauh-jauh cari orang bijak yang kisahnya bisa kita jadikan amunisi,
lihat saja orang tua kita.
Ketiga, Kalimat pertama
mudah, gaya bahasa adalah kebiasaan, penutup lebih gampang lagi. Sepertinya
kita semua sudah paham maksudnya apa. Menurut
saya, tips ketiga ini semacam sugesti yang ingin disampaikan Bang Tere liye
kepada kita yang sering punya masalah dengan “Susah yah buat kalimat pertama”,
“Gaya bahasa yang baik seperti apa sih” dan “Bagaimana menutup/menyelesaikan
tulisan”, saya bingung mau komentar apa, hihih, inti jawabannya adalah kembalikan
ke diri kita masing-masing. Hahaha. Untuk menutup tulisan, saya paling ingat
ketika beliau bilang kurang lebih seperti ini “Kalau bingung mau tulis penutup
seperti apa, tulis saja TAMAT. Kalian pasti tidak tahu kalau novel Hafalan sholat Delisa yang telah dibuat
film itu, sebenarnya tulisan yang
belum selesai”. Katanya semua bisa
dibuat sederhana dengan langsung menuliskan kata “tamat” ditulisan yang kita anggap
bingung harus seperti apa akhirnya. Hanya satu tulisan yang tidak boleh dibuat
seperti itu, SKRIPSI :D
Keempat, Tuliskan, Tuliskan,
Tuliskan. Teori yang baik itu, yang diaplikasikan. Pesan beliau adalah banyak latihan. Dengan banyak latihan, kualitas tulisan kita akan menjadi semakin
baik, relevan dan efektif. Efektif maksudnya, pembaca mengerti tulisan kita dan
kita paham apa yang kita tulis.
Itulah keempat tips menulis ala
Bang Tereliye.
Setelah sesi pemaparan dari Bang
Tere liye, selanjutnya adalah sesi tanya jawab. Sekadar info, jangan menanyakan
hal-hal seperti “Bang, inspirasinya dari mana sih?”, dsb karena jawaban Bang
Tere liye pasti “darimana saja” hahaha. Seminar selesai sekitar pukul 12 siang,
lalu dilanjutkan sesi tanda tangan. Harus
ngantri, sebab yang mau tanda tangan
juga banyak, yang nggak punya/bawa
novel bela-belain beli, kebetulan di
sana ada stand yang menjual buku-buku
beliau. Saya juga ikut ngantri dimenit-menit
terakhir. Setelah menandatangi 5 novel yang saya bawa dari rumah (satu novel
dipinjam sama teman), Bang Tere liye sempat bilang, “Semoga bermanfaat” saya
balas dengan senyum kemudian berkata “Bang, dua novel ini *tunjuk bulan sama
bumi* jangan dibuatkan film yah” (Kalau kalian tanya kenapa saya berpesan
seperti itu, silahkan baca novelnya. Pikir saya, kalau novel-novel itu
dibuatkan film, jadinya akan seperti sinetron-sinetron di tipi yang manusia bisa jadi hewan >_<). Mendengar pesan saya
itu, Bang Tere liye tidak menjawab, hanya mengangat kedua tangan, seperti
berkata, "Kita lihat saja nanti".
Terima kasih Bang Tere Liye telah berkenan main ke Palu, satu impian
saya berhasil diceklis
di penghujung tahun ini :’) -Inov-
Palu, 15 Desember 2016.