Yang pamit
untuk pergi, apa masih ingat jalan pulang?
Yang
bersedia ditinggalkan, apa masih sabar menunggu?
Yang membuat
janji bertemu, apa masih bisa menepati?
Jingga
menerawang setiap rasa dari seseorang yang berjalan pergi dan seseorang yang
diam menunggu. Ada banyak alasan mengapa seseorang harus pergi. Ada banyak pula
alasan mengapa seseorang masih menunggu. Entah siapa yang dituntut untuk
mengerti. Entah siapa yang diminta untuk merasakan rindu. Mungkin sebuah keyakinan
yang bisa menjawab, meski terkadang dengan air muka yang kurang meyakinkan.
Saat muda
menyukai senja. Berharap senja bisa menyampaikan rindunya. Meski sebenarnya
senja pun sedang merindu, entah pada siapa. Kedua insan percaya, mereka sedang
berbicara walau mata tak saling menatap. Teriring doa disetiap munculnya warna jingga
milik senja. Yang pergi berharap, seseorang yang menunggu akan terus sabar
menunggu. Yang menunggu berharap, seseorang yang pergi akan segera pulang.
Senja
akan selalu indah,
walau
dinikmati di tempat yang berbeda, Percayalah!
Saat muda suka mengumbar
janji. Kalau seperti ini, siapa yang akan menepatinya? Ini bukan masalah jarak
yang terbentang luas. Juga bukan masalah waktu yang tak bisa disatukan. Ini
sebuah pertanyaan, sampai dimana seseorang berjuang menepati janjinya? Lalu
mengapa hanya diam?
Mencoba menemukan,
sedang
posisiku
masih dalam keadaan diam.
Mencoba menemukan,
sedang
gerakkanku
tak mampu menyamakan gerakanmu.
Sebelum ku lanjutkan, ku tarik napas panjang,
lalu
ku coba menemukanmu
secara perlahan-lahan.
Temukanlah, sebelum
terucap kalimat menyerah, “Aku tidak menunggumu, aku hanya ingin memastikan kalau
kamu baik-baik saja” atau kalimat ragu-ragu, “Aku tidak tahu kapan akan pulang,
mungkin aku akan bertahan di sini”. Mulailah berjuang, mulailah mengejar
cintamu dengan cara-cara yang sederhana, dengan doa misalnya. Karena
tantangan-tantangannya akan
semakin meningkat kesulitannya dengan sangat cepat.
Namun, hati siapa yang
tidak sakit ketika ada bisikan yang mengatakan, yang pergi tidak akan pulang. Seperti
ingin berlari di tengah rintik hujan. Menyembunyikan air mata yang mengalahkan
derasnya hujan. Menurutnya ini lebih bijak, daripada memaksa seseorang untuk
pulang.
“Temukanlah, selagi kamu bisa
memilikinya. Suatu saat, kau bisa menemukannya, tetapi kamu tak bisa lagi
memilikinya.
Menua bersama senja saat waktu
melaju dengan cepat. Menua bersama senja saat jingganya terlukis indah. Di
tempat yang berbeda mereka berburu senja, berharap senja mendengar curahan hati
mereka.
Aku menyapa senja...
Berharap menemukan kedamaian di
sana.
Aku menyapa senja...
Berharap warna jingga akan tetap
abadi.
Aku meyapa senja...
Berharap senja tak akan berlalu.
Aku menyapa senja...
Berharap takkan ada gelap
setelahnya.
Aku menyapa senja...
Berharap senja menyapaku balik.
Aku menyapa senja...
Namun, senja tak
mendengarku...
Saat puluhan senja telah pergi, seseorang yang ditunggu tak kunjung datang.
Janjipun mungkin telah dilupakannya. Saat puluhan gelap malam menggantikan
jingganya senja, ada yang masih bertahan. Sendirian.
Ia pun masih
menunggu bersama senja yang menjingga.
(Makassar, 18 Maret 2014) -Ina Novita-