Malam semakin larut. Satu-satunya suara yang masih terdengar adalah suara jangkrik diselingi suara
hembusan nafas Naaya yang panjang. Naaya berdiri sendiri di depan rumahnya, meninggalkan kedua sahabatnya. Matanya memandang ke langit. Mencoba menerka-nerka perasaannya
sendiri.
“Sudah larut malam, kok belum tidur?” Gilang datang dari
arah belakang Naaya.
“Belum ngantuk” jawab Naaya singkat.
“Ohh.. Trus, ngapain di sini?”
“Lagi lihat itu”
kata Naaya sambil menunjuk ke arah sebuah bintang di langit. Sinar
bintang itu terlihat berkelip, karena sinarnya dibelokan dan digoyang
oleh selang selingnya udara panas dan dingin di atmosfer Bumi.
“Ohh.. Kirain lagi curhat”
“Curhat? Sama siapa?”
“Nohh...” Gilang melihat sebuah tembok yang tepat berada
di sebelah Naaya. Seketika tangan Naaya mencubit lengan Gilang dan di ikuti
suara rintihan kesakitan dari mulut Gilang.
“Lang..”
“Kenapa Nay?”
“Aku mau cerita. Lebih tepatnya sih minta saran ke kamu”
“Cerita aja, tapi nggak gratis yah, satu menit, satu
cokelat” kata Gilang menawarkan.
“Jahat banget sih jadi sahabat!”
“Heheh, becanda Nay. Mau cerita apa?” tanya Gilang kini
dengan nada penasaran.
“Kamu tahukan, kalau sejak pertama kali aku bertemu
Rakha, aku mulai jatuh hati padanya?”
Gilang mengangguk. Ia melihat dengan jelas, ada cinta di
balik wajah Naaya. Cinta yang sejak pertama kali bertemu Rakha di kampus dulu.
Cinta yang membawa wajah Rakha di frame kamera sahabatnya itu. Namun cinta itu
tak terbalaskan. Cinta Rakha milik orang lain. Dan orang itu adalah sahabatnya
sendiri.
“Kamu juga tahukan, Rakha sukanya sama Zee?“ Naaya
memastikan.
“Kalau itu aku nggak tahu pasti. Soalnya Rakha nggak
pernah cerita”
“Rakha nggak bisa bohong, Lang. Mulutnya memang nggak
pernah cerita, tapi matanya mengatakan kalau dia sangat menyukai Zee.”
“Apa yang harus aku lakukan, Lang?” tanya Naaya
“Hmm.. kamu ikuti saja apa kata hati kamu. Mulut bisa
bohong, tapi hati tidak, Nay!”
“Kalau begitu, aku nyerah, Lang” sambung Naaya pelan dengan
mata yang mulai berkaca-kaca.
Bunyi jangkrik itu
semakin terdengar. Mengalahkan isak tangis seorang gadis yang menyerah akan
cintanya. Cinta yang ia rasakan sendiri.
“Lang, tolong katakan pada jangkrik-jangkrik itu untuk
diam. Apa dia tidak tahu kalau aku sedang bersedih?!” kata Naaya sambil
menghapus butiran air mata di pipinya. Gilang tersenyum mendengar permintaan
sahabatnya itu. Sahabat yang dikenalnya sejak kecil.
Sunyi mendekap
kepekatan malam,
Diam membisu menunggu
suara,
Hingga suara mereka
mendahului kita,
Suara binatang malam.
Candanya, “Katakan pada mereka
untuk diam,
Suara mereka
mengganguku,
Mengganggu suasana
hatiku”
Kataku, “Mengapa aku harus
meminta mereka untuk diam?
Sedang mereka tak
pernah memintamu
untuk diam,
apalagi
memintamu
untuk berhenti menangis”.
Malam masih membisu,
Hanya suara-suara
binatang malam yang semakin jelas terdengar.
“... biarkan mereka bersuara, kita nikmati saja”
(Makassar, 10 April 201) -Ina Novita-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar