“Apa aku jatuh cinta lagi?”
“Padanya?”
Pertanyaan ini selalu muncul dalam
pikirannya.
Ia membolak balikkan
lembaran buku yang ada di hadapannya. Namun, tak ada satupun makna dari buku yang
tersangkut di kepala. Perasaannya seperti benang kusut. Ia tak bisa
fokus menyelesaikan tugas kuliah. Ditutupnya
buku yang penuh rumus-rumus itu kemudian menghembuskan napas panjang. Hatinya
mulai mengakui bahwa Ia memiliki perasaan kepada seseorang yang sekarang sedang
sibuk mengerjakan tugas kuliah di sampingnya. Namun, Ia mencoba menolak
perasaan itu.
Diam-diam Ia mengamati,
diam-diam juga benih-benih perasaan itu muncul di dirinya. Tak ada yang
mengharapkan perasaan itu lahir dan berkembang, hingga Ia sendiri tak sanggup mengakui
bahwa Ia jatuh cinta lagi, yah jatuh cinta untuk kesekian kalinya.
“Bukankah aku telah
berjanji untuk tidak akan jatuh cinta lagi, hingga cinta yang ditetapkan-Nya
menemukanku?” batinnya.
Menanggung rasa ini
sendirian memang tak menyenangkan. Ketidakstabilan selalu timbul tenggelam,
mengombang-ambingkan perasaan. Tapi, hidup masih berlanjut bukan, Ia harus
terus berjalan ke depan.
Ia membuka kembali buku
yang di hadapannya. Berusaha melupakan perasaan- perasaan yang terus menghantuinya.
Setidaknya sampai Ia selesai mengerjakan tugas kuliah dan pulang ke rumah.
Berharap besok Ia lupa semua perasaannya.
***
“Ahh, sampai kapan
begini?” tanyanya dalam hati.
Ia tak bisa mengatur
perasaannya sendiri. Mungkin sampai batas waktu yang tak bisa Ia tentukan.
Sekarang yang bisa Ia lakukan hanya berupaya menghapus bayang-bayang rasa itu
dan berpura-pura tidak sedang jatuh cinta. Walaupun Ia tahu, kenyaatan bahwa Ia
jatuh cinta lagi itu tidak mudah. Yah, Ia tahu kalau semua itu tidaklah mudah.
“Haruskah aku berlari
dari perasaanku sendiri yang bisa mengajar langkahku, haruskah aku bersembunyi
dari perasaanku sendiri yang bisa menemukanku”.
Sepertinya, Ia sedang
melakukan sesuatu yang sia-sia.
Dengan
mulut yang tak bisa mengungkapkan rasa,
Dengan
diam yang menyakitkan.
Dengan
semua keadaan yang seolah mendukung perasaannya,
Dengan
semua kenangan yang menyakitkan.
Haruskah
mengulangnya kembali?
Tunjukkan
padaku bagaimana cara berlari agar tak dapat dikejar,
Tunjukkan
padaku tempat bersembunyi agar tak dapat ditemukan.
Aku sedang
mencari-cari alasan.
Ia
mengambil sebuah foto dari dompetnya. Fotonya bersama sahabat-sahabatnya. Foto
itu diambil saat mereka liburan setahun yang lalu. Matanya tertuju pada salah
satu sahabatnya.
Ia
membuka-buka lagi kenangan itu, terus bertanya pada dirinya atas perasaannya
sendiri. Menganalisis dorongan hati dan tindakan-tindakannya. Ia menyerah pada
semacam kerumitan cinta yang membuatnya geram. Namun, Ia mencoba yakin. Ia menunggu
keajaiban yang ditakdirkan untuknya.
Tok..tok..tok..
Terdengar
ketukan pintu dari luar rumahnya. Ia menemui seseorang yang mengetuk pintu
rumahnya sepagi ini. Tiba-tiba muncul seseorang di hadapannya. Seseorang dengan
wajah yang tak asing baginya. Ia baru saja melihat wajah itu di foto.
“Apa
kamu lupa dengan rencana kita pagi ini? mereka sedang menunggumu” kata orang
itu.
“ii..yaa...
Aku siap-siap dulu.” jawabnya berusaha tenang.
Ia terlalu sibuk memikirkan perasaannya,
hingga Ia hampir lupa dengan rencana liburan bersama sahabat-sahabatnya hari
ini.
Seseorang itu telah beranjak,
meninggalkan senyuman dan punggung yang semakin menjauh dari pintu rumahnya.
Semuanya
terlalu jelas
Hanya
tak ingin kita terluka
Tapi,
akan membuatmu kecewa
Mungkin
berpura-pura lebih indah
Walau
ku tahu itu akan menyiksa..
Dan hal yang paling menyakitkan untuknya
adalah saat seseorang yang Ia cintai itu, ternyata juga mencintainya.
“Pecundang
hati itu, saat kau sibuk mencari alasan untuk tidak mencintai
seseorang
yang kau cintai”.
(Makassar,
23 April 2014) -Ina Novita-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar