Saat
kamu batuk atau pilek, ayah membentak, “Sudah dibilang jangan minum es,” karena
ayah khawatir. Saat remaja, kamu menuntut untuk boleh keluar malam. Ayah melarang
karena hanya ingin menjaga anak yang dikasihinya.
Saat
kamu melanggar aturan jam malam, ayah selalu menunggu di ruang tamu dengan
cemas. Ketika kamu pamit hendak kuliah di kota lain, badan ayah seperti kaku
ingin memelukmu. Saat kamu merengek keperluan ini itu, ayah mengernyitkan dahi.
Tanpa menolak ayah memenuhinya. Saat kamu wisuda, ayah orang yang pertama
berdiri dan bertempik sorak kegirangan. Ayah tersenyum bangga.
Sampai
saat ketika calon pasangan datang minta izin mengambilmu. Dengan hati-hati ayah
mengikhlaskanmu disunting. Saat melihatmu duduk di pelaminan dengan orang yang
dianggap layak, ayah sangat berbesar hati.
Ayah
berdoa dalam hati, Ya Tuhan, jihadku
sudah selesai. Setelah itu, ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu membawa
cucu-cucunya. Tentu dengan rambut memutih dan tubuh mulai renta. Ia sudah tidak
begitu kuat lagi untuk melindungi, menjaga dan merawatmu.
Dari
kisah heroik seorang ayah di atas bisa ditemukan perbedaan jatuh cinta dan
bangun cinta. Jatuh cinta dalam keadaan menyukai. Bangun cinta diperlukan dalam
keadaan jengkel. Cinta bukan lagi berwujud pelukan, melainkan itikad baik
memahami konflik. Bersama-sama mencari solusi yang dapat diterima kedua belah
pihak. Cinta yang dewasa tidak menyembunyikan unek-unek.
Dikutip dari buku “Guru Gokil
Murid Unyu”, karya J. Sumardianta.
*Peluk jauh mama, bapak* :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar