Sore yang mendung,
seorang kawan memacu kendaraannya dengan cepat. Saya yang tepat berada di belakangnya sesekali memperbaiki posisi duduk sesaat setelah ia berhasil menyelip
di antara kendaraan lain di depannya. Saat itu kami ingin berkunjung kerumah kawan untuk memenuhi undangan berbuka puasa bersama.
Perjalanan yang cukup jauh menjadi tidak terasa karena sepanjang perjalanan kami
bercerita panjang lebar mengenai hal apapun. Ada banyak tawa yang terselip diperbincangan
kami sore itu. Perbincangan yang ringan –Mungkin pengaruh perut lapar-
Saat perjalanan pulang. Sama seperti sebelumnya, cara kami
mengusir kepenatan pada perjalanan yang
cukup jauh adalah dengan bercerita banyak hal. Tapi berbeda dengan perjalanan sore tadi
yang banyak terselip canda dan tawa, perjalanan pulang saat malam harinya dibumbui dengan cerita
yang lumayan serius untuk diperbincangkan –Mungkin pengaruh perut kenyang-. Maka mulailah
kami berkisah, dari rencana kegiatan kami minggu ini, persiapannya,
hingga tentang sebuah misi yang ada di kepala saya.
Saat itu saya lebih banyak mengambil alih pembicaraan. Sedang dia setia mendengar dan menyimak setiap kalimat
yang saya ucapkan meski terdengar samar-samar di telinganya. Di tengah perjalanan pulang,
kami membahas sebuah misi yang sedikit rumit untuk di
selesaikan oleh dua kepala. Pemikiran kami yang terkadang berbeda, dengan ego kami masing-masing
yang naik turun, menyebakan kami sulit menemukan kesimpulan akhirnya. Sampai pada pembahasan misi saya tersebut, saya lalu lebih memilih untuk mendengar dan sekarang ia sedang serius berkisah
di hadapanku. -Ada
kalanya solusi terbaik untuk berkisah adalah dengan posisi seperti ini, tidak saling berhadapan-
“Ahh… saya jadi curhat”
katanya sesaat setelah berkisah. Tidak banyak komentar dan solusi yang
sempat saya ungkapkan, sebab perjalanan jadi terasa sangat singkat dan akan segera berakhir.
–meski begitu, bagiku mendengarkan adalah salah satu cara menenangkan terbaik yang bisa kita lakukan-
perjalanan berikutnya, saya habiskan untuk berbicara pada diri sendiri:
Pada sebuah dinding yang diam aku bertanya.
Mengapa aku terkurung di dalamnya?
Warna abu yang mengendap di setiap sisiku.
Setiap kali berusaha untuk berteriak,
Dinding itu menyerap seluruhnya.
Suaraku semakin menghilang.
Aku mendambakan sebuah jawaban yang jelas.
Bagai lukisan langit yang nyata di atas kepala
Tapi meski telah beberapa kali mencoba menggengamnya,
Awan-awan putih lekas meninggalkanku pergi.
Menyisahkan jejak gelap yang meski ku coba mengetuknya,
Selalu saja sama; diam, sepi, hitam dan pekat.
Aku masih terkurung dikerapatan dinding-dinding yang dingin.
Mereka diam tapi aku merasa setiap detiknya mereka mendekat sejengkal.
Tubuhku ketakutan dan tanganku mulai berontak.
Hidupku semakin sesak karena dinding semakin rapat.
Senenarnya aku tidak ingin keluar,
tapi keadaan memaksaku untuk segera keluar.
Mungkin seperti itulah dia. Tapi jangan lupa kawan:
"Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan." (Q.S Al Insyiraah: 5)
Saya simpulkan bahwa misi hari ini tidak sia-sia, tapi belum sempurna. Semoga lain waktu bisa memberi solusi baik untuknya. Semisal, memberi kunci atau membukakannya pintu.
Tulisan ini diikutkan dalam tantangan kelas menuls SIGi Makassar, #SigiMenulisRamadhan. Baca tulisan teman lainnya di sini:
bukanamnesia.blogspot.com
nurrahmahs.wordpress.com
rahmianarahman.blogspot.com
kyuuisme.wordpress.com
rancaaspar.wordpress.com
burningandloveable.blogspot.com
inditriyani.wordpress.com
uuswatunhasanah.tumblr.com
Palu, 8 Juni 2016 -Ina Novita-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar