Senin, 25 April 2016

(SIGi_Mks; Yang tak akan terlupakan)


Indonesia tertinggal dari negara lain karena punya tiga masalah besar, masalah besar pertama adalah “pendidikan”, masalah besar yang kedua adalah “pendidikan”, dan masalah besar yang ketiga adalah “pendidikan”.

Begitulah kutipan dari sebuah buku pendidikan yang saya baca sekitar tiga tahun yang lalu. Kata “pendidikan” yang diulang sebanyak tiga kali seakan ingin mengatakan bahwa, Indonesia punya pekerjaan rumah yang sangat besar untuk segera diselesaikan. Masalah pendidikan yang begitu kompleks dan mencakup segala lini, tidak memungkinkan pemerintah untuk bergerak sendiri menyelesaikanya. Perlu adanya kerja sama semua pihak untuk segera turun tangan mengambil tindakan yang bisa dilakukan sekecil apapun tindakan itu. 

Berangkat dari keresahan tersebut. Saya sadar, kata prihatin yang terucap dari mulut saya tidak akan menyelesaikan masalah. Dan kebiasaan saling menyalahkan tanpa memberikan solusi apapun bagi saya hanyalah akan menimbulkan masalah baru. Gagasan-gagasan di kepala saya yang tidak ada aplikasinya pun hanyalah omong kosong.

Pada akhir tahun 2013. Saya yang saat itu berstatus mahasiswa pendidikan di Makassar, mulai mempertanyakan peran saya, ”Apa yang bisa saya lakukan untuk pendidikan di Indonesia?” Namun, kekeliruan saya saat itu adalah berpikir dan fokus pada tindakan-tindakan besar yang akan saya lakukan. Salah satunya adalah keinginan saya yang sangat kuat untuk mengikuti program mengajar di daerah pedalaman dan pelosok Indonesia. Pikir saya, inilah cara terbaik untuk menjawab pertanyaan di kepala saya saat itu.

Hingga pada suatu sore. Setelah pulang dari kuliah, saya bertemu seorang gadis kecil di sebuah daerah “kumuh” di Makassar. Gadis kecil itu memakai rok sekolah berwarna merah, lalu saya menghampirinya,

“Hallo adik, namanya siapa?” tanyaku, namun gadis kecil itu tidak menjawab.

“Baru pulang sekolah yah? Masuk siang?” tanyaku lagi. Masih dengan respon yang sama. Gadis kecil itu masih diam.

Di pikiran saya, gadis kecil itu sedang malu-malu. Maka, mulailah saya melakukan pendekatan dan mencoba mengakrabkan diri. Kini jarak kami cukup dekat.

“Adik kelas berapa?” 

Karena saya tahu tidak akan ada respon balik, saya kemudian meluncurkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Mungkin saja dia akan menjawab salah satu dari beberapa pertanyaan yang saya ajukan. Hingga pada satu pertanyaan, yang menjadi pertanyaan terakhir.

“Kenapa roknya dipakai bermain? Nanti roknya kotor, besokkan masih mau dipakai!” 

Gadis kecil itu merespon, tatapannya berubah. Berubah menjadi sangat tajam ketika menatap. Ketika saya hendak melanjutkan pertanyaan, tiba-tiba saya melihat matanya berkaca-kaca. Ia berbalik arah dan lari meninggalkan saya tanpa berkata sapatah katapun. 

Saat gadis kecil itu telah menghilang dari pandangan, saya menghampiri anak-anak lain yang sedang bermain di sekitar tempat itu. Saya tanyakan mengenai gadis kecil tadi.  Dan saya sangat terkejut saat mendapatkan informasi dari salah seorang anak, yang mengatakan bahwa, “Dia tidak sekolah kak. Dia pemulung, membantu orangtuanya”

Perasaan saya bercampur aduk saat itu. Sedih dan merasa bersalah, karena saat itu saya sadar, saya menggunakan kalimat yang tidak ingin ia dengarkan, mungkin menyakiti hatinya. Perasaan bersalah itu semakin tumbuh karena saya tidak bisa meminta maaf secara langsung. Sebab sejak saat itu, saya tidak pernah lagi bertemu dengannya.

Hari itu saya ingat betul, kesalalahan saya bukan hanya mematahkan hatinya mungkin juga mematahkan impiannya untuk bersekolah. Kejadian tersebut menyadarkan saya bahwa permasalahan pendidikan benarlah sangat rumit dan ada di mana-mana. Tidak harus mencarinya hingga ke pedalaman dan pelosok Indonesia. Cukup membuka mata lebar-lebar dan peka terhadap apa yang sedang terjadi di sekitar kita.

Sejak saat itu, saya mengubah cara saya untuk menjawab pertanyaan “Apa yang bisa saya lakukan untuk pendidikan di Indonesia?”. Saya berpikir untuk melakukan hal-hal yang sederhana yang bisa saya lakukan di Makassar. Mulailah saya mencari gerakan dan komunitas yang peduli terhadap pendidikan di Makassar. Dari media sosial, saya menemukan sebuah komunitas yang bernama SIGi Mks (Sahabat Indonesia Berbagi) Regional Makassar. 

Setelah membaca sekilas mengenai SIGi Makassar, saya merasa visinya dalam berbagi sesuai dengan apa yang saya cari. Jika ditanya apa yang bisa saya bagikan, jawabannya apapun yang saya miliki. Mulai dari hal yang paling sederhana, berbagi senyuman terbaik, berbagi sedikit cerita, berbagi canda dan tawa, berbagi waktu luang, berbagi sedikit ilmu hingga berbagi rezeki yang saya punya. 

Setelah mendaftarkan diri via online, saya mendapatkan informasi dari admin SIGi Makassar mengenai pertemuan terdekat yakni RK, (Receh Kahuripan adalah sebuah kegiatan mengumpulkan uang “Receh” setiap bulannya dari para relawan, yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan berbagi di SIGi Makassar). Saya lantas berpikir untuk mengajak salah satu teman kuliah saya saat itu, Nur Utami alias Meche (Orang pertama yang saya “jebak” masuk ke komunitas SIGi Makassar). Niat baikpun disambut dengan baik. Meche tertarik untuk ikut.

Hari yang dinanti tiba, sore itu dengan bermodal uang receh seadanya dan semangat berbagi, kami (Saya dan Meche) menelusuri jalanan kota Makassar menuju satu tempat yang menjual makanan khas Jepang. Menurut informasi yang saya dapatkan, di sanalah tempat SIGiers (sebutan untuk para relawan SIGi) akan berkumpul. 

Sesampainya di tempat yang dimaksud, saya melihat seorang wanita berjilbab sedang duduk sendiri. Di atas meja di hadapannya terdapat sebuah botol minuman yang ditempelkan logo “SIGi Mks”, dari situlah saya tahu bahwa orang tersebut adalah SIGier. Kamipun menghampiri dan memperkenalkan diri. Indira Nur Triyani, itulah nama dari SiGier yang dengan baik hati menyambut kami. Ia menjelaskan secara singkat mengenai apa itu SIGi dan kegiatan-kegiatannya apa saja yang dilakukan, sambari menunggu SIGiers yang lain datang ke tempat itu. 

Dari sanalah awal semangat berbagi itu mulai terasa. Lingkungan positif sangat mempengaruhi kita untuk melakukan hal-hal yang positif. Saat bertemu para SIGiers, saya merasa semangat berbagi itu muncul berkali-kali lipat. Yang kami lakukan memang tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah pendidikan yang begitu kompleks. Namun saya berharap, tindakan-tindakan kecil yang berusaha SIGi Makassar lakukan dengan konsisten, suatu hari akan berbuah hasil yang manis. Dan pertanyaan di kepala saya mengenai “Apa yang bisa saya lakukan untuk pendidikan di Indonesia?” sedikit demi sedikit akan menemukan jalannya.

Bagi saya, berbagi itu layaknya sebuah pilihan perjalanan. Banyak komunitas yang siap menjadi kendaraan. Dan saat itu, saya memilih komunitas SIGi Makassar sebagai kendaraan saya. Selama berbagi bersama SIGiers, saya merasa berada di kendaraan yang benar. Kendaraan itu yang akan membawa saya pada satu tujuan, bahagia.

                                  


 * * * Mereka yang tak akan terlupakan * * *

Terima kasih kepada SIGiers dan adik-adik (yang pernah terlibat dalam kegiatan SIGi Makassar) untuk pengalaman yang sangat berharga, meski dalam waktu yang sangat singkat, banyak pelajaran yang bisa saya ambil. Bahkan pelajaran tersebut bagi saya lebih bermanfaat dari teori-teori pendidikan yang saya dapatkan di perkuliahan (ini serius). Meskipun saat ini saya berada di Kota yang berbeda, semangat berbagi SIGi Makassar masih sangat terasa. Teruslah berbagi dan menginspirasi.

Terima kasih juga untuk teman-teman yang pernah saya “jebak” bergabung di SIGi Makassar. Jujur saja, saya memikirkan hal ini (“menjebak” kalian) sejak pertama kali saya bergabung ke komunitas ini. Sebab saya tahu, saya tidak akan lama berada di Makassar, dan berharap kalianlah yang akan melanjutkan semangat berbagi di sana (heheheh, maafkan). Selain alasan itu, yang terpenting adalah saya tidak ingin menjadi manusia egois, yang hanya ingin merasakan indahnya dan bahagianya berbagi seorang sendiri. Itulah mengapa saya “menjebak” kalian, agar kalian juga merasakan bahagia yang saya rasakan. 

Terakhir, untuk gadis kecil berrok merah, yang entah siapa namanya. Izinkan saya meminta maaf atas kesalahan saya. Tidak ada niatan untuk mematahkan impianmu. Semoga dengan saya berusaha merajut impian-impian teman-temanmu yang lain, yang sama membutuhkannya denganmu, kesalahan saya bisa kamu maafkan. Dimanapun kamu berada, terima kasih telah menjadi penyemangat tersendiri untuk saya. Semoga akan ada hari baik dan cerita yang baik saat kita bertemu nanti.

Paling akhir, untuk semua yang membaca tulisan ini, mohon doanya untuk “kelahiran” adik baru dari SIGi_Mks di sini. Terima kasih.

#JadilahOrangHebatYangBergerakKetikaTergerak
#BerbagiTakAkanMembuatmuRugi
#SalamSIGiCeria

Palu, 21 April 2016  - Ina Novita