Kamis, 15 Desember 2016

Tips menulis ala Darwis “Tere Liye”.



Senin, 12 Desember 2016, bertempat di auditorium Universitas Tadulako, saya menghadiri sebuah seminar kepenulisan nasional yang bertemakan “Menggugah jiwa menulis dari kisah inspiratif”. Seperti kebanyakan peserta lain, saya sangat antusias mengikuti seminar tersebut, karena seminar yang diadakan oleh UKPM FKIP Untad itu menghadirkan narasumber seorang penulis “misterius”. Kenapa saya menyebut beliau misterius, sebab beliau sudah menulis 26 buku dan beberapa diantaranya menjadi  best sellers, tapi beliau sangat jarang terlihat, hehehe. Berbeda dengan karya-karyanya yang sering kita kutip untuk jadikan status dan berkata dalam hati “ah, ini saya banget!”, atau kita jadikan caption meskipun fotonya nggak nyambung dengan kutipannya (ini saya, bukan kalian). 


Sedikit bercerita, Saya “tahu” Tere liye sejak kuliah, tapi saat itu saya bukan termaksud penikmat novel-novel beliau. Beberapa kali saya melihat kutipan tulisan-tulisan beliau berkeliaran di dunia maya, novel karya beliau dibeberapa rak buku teman saya atau di toko buku sekalipun, namun, saat itu belum ada niat untuk membacanya. Sampai akhirnya, sekitar satu tahun lalu, saya “mencoba” membeli, hmm lebih tepatnya menitip kepada Bapak saya yang kebetulan sedang berada di luar kota (bahasanya sih nitip padahal modus mau yang gratisan, hahah) untuk mengole-olei saya novel “Hujan” yang saat itu sedang heboh-hebohnya. Dan mungkin saat itu “hujan” menjadi rekor baru saya dalam membaca novel, hanya dalam sehari habis saya “lahap”, tepatnya selesai sekitar jam 1(an) malam. Kalimat pertama setelah saya membaca novel itu ialah “kenapa tidak dari dulu saya membaca tulisan-tulisannya”. Hhmm, begitulah, penyesalan memang selalu datang belakangan. Sebab kalau dia datang di awal, namanya bukan penyesalan tapi niat ^^. Dari situ, saya kemudian membeli novel-novel karya beliau lainnya, seperti Bulan, Bumi, Aku, Kau dan Sepucuk Ampau Merah, Rindu, dan yang terakhir Tentang Kamu. Sekarang lagi incar si Matahari, kalau ada yang ingin kasih sebagai kado (meskipun ulang tahun saya masih beberapa bulan lagi), dengan senang hati saya akan menerimanya. Huahhaha. Ok, itu sedikit cerita saya, kembali ke laptop.

Seminar itu adalah kali pertama saya melihat langsung Bang Tere liye, tetapi saya sempat beberapa kali menonton seminar beliau di kota lain via youtube. Dari tontonan itu, saya bisa membangun kesan seperti apa sosok beliau. Seseorang yang suka tampail sederhana dengan baju koas, sandal (tumben seminar di Untad beliau pakai sepatu. Hehehe, damai, Bang) dengan ciri khas topi kupluknya (Ini justru nggak dipakai waktu seminar di Untad). Selain itu, Saya juga sering mendengar kalimat-kalimat beliau di awal seminar (masih dari youtube), seperti kalimat pertama yang selalu ingin meyakinkan peserta, “Kalian yakin yang di hadapan kalian ini Tereliye?” kemudian dilanjutkan dengan “Yah kan, siapa tahu saja panita nemu orang di jalan terus dibawa kesini” (hahaha, ada-ada saja). Begitulah saking tidak terkenalnya sosok, Bang Tere liye ini. “Nanti yang bawa buku, selesai seminar bukunya saya tanda tangan, tapi tidak ada sesi foto bareng. Kalian bisa foto saya saat saya tanda tangan buku kalian, tapi saya tidak akan melihat ke kamera” begitu katanya. Mungkin ini penyebab kenapa sosok Bang Tere liye jarang dikenal orang. Tidak ingin difoto. 



Sepertinya pembahasan sudah melenceng dari judul awal, hihihi. Baiklah, langsung saja. Saat sesi pemaparan dari Bang Darwis yang lebih dikenal dengan Bang Tere liye, beliau sempat bercerita mengenai awal mula beliau menulis, dari mengirim tulisan ke majalah bobo, kompas, hingga penerbit. Jangan tanya berapa kali ditolak sebelum tulisan beliau dikenal seperti sekarang ini. Saya jadi ingat tulisan di novel terakhir beliau, Tentang Kamu. Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x. Seperti itulah, beliau bukan penulis instan, hobi menulisnya sudah tumbuh sejak beliau duduk di Sekolah Dasar. 

Dan pada seminar kepenulisan itu, beliau berbagi tips menulis kepada peserta yang saat itu didominasi oleh kaum hawa.

Pertama, Topik/tema bisa apa saja, tapi penulis yang baik selalu menemukan sudut pandang yang menarik. Hal pertama yang biasanya kita lakukan saat akan menulis adalah menentukan topik/tema tulisan. Topik/tema bisa apa saja, mungkin sesuatu yang kita sukai atau bahkan sesuatu yang sedang trend. Dari situ, tidak jarang banyak orang melakukan hal yang sama yakni menulis dengan topik/tema yang sama dengan yang akan kita tulis. Nah, Bang Tere liye mengajak kita untuk menemukan sudut pandang yang menarik pada topik/tema yang akan kita tulis, yang masih jarang dilakukan oleh kebanyakan orang.

Kedua, Butuh amunisi. Tidak ada amunisi, tidak bisa menulis. Amunisi yang Bang Tere liye maksud di sini adalah ide atau inspirasi. Kita pasti pernah mengalami saat dimana berencana untuk menulis sebuah tulisan, namun saat kita sudah di depan laptop, kita kebingungan mau menulis apa. Atau mungkin kita sudah memiliki topik/tema, namun kita bingung mau menuliskannya mulai dari mana. Atau, adalagi yang biasa kita alami, menulis satu kalimat tetapi kemudian dihapus lagi, menulis dua kalimat lalu menghapus satu kalimat, dst (Ini saya lagi, bukan kalian). Alhasil berjam-jam di depan laptop, tulisan belum kelar juga. 

Nah, Bang Tere liye punya cara agar stok amunisi kita banyak. Pertama, harus banyak membaca, ini sih wajib yah, kalau mau nulis yah harus rajin baca. Bagaimana dengan yang nggak suka baca? tenang, Bang Tere liye punya cara kedua, yaitu  lakukan perjalanan. Tulisan yang kita buat setelah melihat sendiri kejadian, peristiwa atau apapun itu, hasilnya akan berbeda dengan tulisan yang dibuat atas dasar khayalan atau imajinasi tentang sesuatu. Singkatnya sih, yang lihat langsung pasti lebih tahu dan lebih bisa menggambarkannya melalui tulisan. Dari pemaparannya, terungkap sebuah fakta bahwa ini ternyata kali kedua Bang Tere liye ke Palu (Saya pikir ini kali pertamanya), beliau pernah menjelajahi pulau Sulawesi (2002 atau 2004 yah? Maaf saya lupa >_<). Pantas saja, di salah satu novelnya, Rindu, Bang Tere liye sempat memention Kota Palu dan Tolitoli J. Lanjut. Kalau cara kedua juga belum bisa kita lakukan, kita bisa pakai cara terakhir, yakni bertemu dengan orang-orang bijak. Oy, jangan salah, Bang Tereliye bukan orang yang ahli dalam hal “melepaskan” dan “Cinta sejati” seperti tulisan-tulisannya. Jadi ceritanya, Bang Tere liye sejak kecil suka berdialog/berdiskusi dengan orang yang lebih tua (a.k.a bijak). Sehingga, beliau sedikit banyak telah menyerap kejadian-kejadian dari lawan bicaranya. Nah, dari situlah Bang Tere liye punya amunisi buat tulisan-tulisan yang selalu sukses bikin kita baper, hihihi. Pesan Bang Tereliye, Jangan jauh-jauh cari orang bijak yang kisahnya bisa kita jadikan amunisi, lihat saja orang tua kita. 

Ketiga, Kalimat pertama mudah, gaya bahasa adalah kebiasaan, penutup lebih gampang lagi. Sepertinya kita semua sudah paham maksudnya apa. Menurut saya, tips ketiga ini semacam sugesti yang ingin disampaikan Bang Tere liye kepada kita yang sering punya masalah dengan “Susah yah buat kalimat pertama”, “Gaya bahasa yang baik seperti apa sih” dan “Bagaimana menutup/menyelesaikan tulisan”, saya bingung mau komentar apa, hihih, inti jawabannya adalah kembalikan ke diri kita masing-masing. Hahaha. Untuk menutup tulisan, saya paling ingat ketika beliau bilang kurang lebih seperti ini “Kalau bingung mau tulis penutup seperti apa, tulis saja TAMAT. Kalian pasti tidak tahu kalau novel Hafalan sholat Delisa yang telah dibuat film itu, sebenarnya tulisan yang belum selesai”. Katanya semua bisa dibuat sederhana dengan langsung menuliskan kata “tamat” ditulisan yang kita anggap bingung harus seperti apa akhirnya. Hanya satu tulisan yang tidak boleh dibuat seperti itu, SKRIPSI :D

Keempat, Tuliskan, Tuliskan, Tuliskan. Teori yang baik itu, yang diaplikasikan. Pesan beliau adalah banyak latihan. Dengan banyak latihan, kualitas tulisan kita akan menjadi semakin baik, relevan dan efektif. Efektif maksudnya, pembaca mengerti tulisan kita dan kita paham apa yang kita tulis.
Itulah keempat tips menulis ala Bang Tereliye. 

Setelah sesi pemaparan dari Bang Tere liye, selanjutnya adalah sesi tanya jawab. Sekadar info, jangan menanyakan hal-hal seperti “Bang, inspirasinya dari mana sih?”, dsb karena jawaban Bang Tere liye pasti “darimana saja” hahaha. Seminar selesai sekitar pukul 12 siang, lalu dilanjutkan sesi tanda tangan.  Harus ngantri, sebab yang mau tanda tangan juga banyak, yang nggak punya/bawa novel bela-belain beli, kebetulan di sana ada stand yang menjual buku-buku beliau. Saya juga ikut ngantri dimenit-menit terakhir. Setelah menandatangi 5 novel yang saya bawa dari rumah (satu novel dipinjam sama teman), Bang Tere liye sempat bilang, “Semoga bermanfaat” saya balas dengan senyum kemudian berkata “Bang, dua novel ini *tunjuk bulan sama bumi* jangan dibuatkan film yah” (Kalau kalian tanya kenapa saya berpesan seperti itu, silahkan baca novelnya. Pikir saya, kalau novel-novel itu dibuatkan film, jadinya akan seperti sinetron-sinetron di tipi yang manusia bisa jadi hewan >_<). Mendengar pesan saya itu, Bang Tere liye tidak menjawab, hanya mengangat kedua tangan, seperti berkata, "Kita lihat saja nanti".



Terima kasih Bang Tere Liye telah berkenan main ke Palu, satu impian saya berhasil diceklis
di penghujung tahun ini :’) -Inov-

Palu, 15 Desember 2016.