Kamis, 10 April 2014

Menyerah



Malam semakin larut. Satu-satunya suara yang masih terdengar adalah suara jangkrik diselingi suara hembusan nafas Naaya yang panjang. Naaya berdiri sendiri di depan rumahnya, meninggalkan kedua sahabatnya. Matanya memandang ke langit. Mencoba menerka-nerka perasaannya sendiri.

“Sudah larut malam, kok belum tidur?” Gilang datang dari arah belakang Naaya.
“Belum ngantuk” jawab Naaya singkat.
“Ohh.. Trus, ngapain di sini?”
 “Lagi lihat itu” kata Naaya sambil menunjuk ke arah sebuah bintang di langit. Sinar bintang itu terlihat berkelip, karena sinarnya dibelokan dan digoyang oleh selang selingnya udara panas dan dingin di atmosfer Bumi.
“Ohh.. Kirain lagi curhat”
“Curhat? Sama siapa?”
“Nohh...” Gilang melihat sebuah tembok yang tepat berada di sebelah Naaya. Seketika tangan Naaya mencubit lengan Gilang dan di ikuti suara rintihan kesakitan dari mulut Gilang.
“Lang..”
“Kenapa Nay?”
“Aku mau cerita. Lebih tepatnya sih minta saran ke kamu”
“Cerita aja, tapi nggak gratis yah, satu menit, satu cokelat” kata Gilang menawarkan.
“Jahat banget sih jadi sahabat!”
“Heheh, becanda Nay. Mau cerita apa?” tanya Gilang kini dengan nada penasaran.
“Kamu tahukan, kalau sejak pertama kali aku bertemu Rakha, aku mulai jatuh hati padanya?” 

Gilang mengangguk. Ia melihat dengan jelas, ada cinta di balik wajah Naaya. Cinta yang sejak pertama kali bertemu Rakha di kampus dulu. Cinta yang membawa wajah Rakha di frame kamera sahabatnya itu. Namun cinta itu tak terbalaskan. Cinta Rakha milik orang lain. Dan orang itu adalah sahabatnya sendiri.

“Kamu juga tahukan, Rakha sukanya sama Zee?“ Naaya memastikan.
“Kalau itu aku nggak tahu pasti. Soalnya Rakha nggak pernah cerita”
“Rakha nggak bisa bohong, Lang. Mulutnya memang nggak pernah cerita, tapi matanya mengatakan kalau dia sangat menyukai Zee.”
“Apa yang harus aku lakukan, Lang?” tanya Naaya
“Hmm.. kamu ikuti saja apa kata hati kamu. Mulut bisa bohong, tapi hati tidak, Nay!”
“Kalau begitu, aku nyerah, Lang” sambung Naaya pelan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

 Bunyi jangkrik itu semakin terdengar. Mengalahkan isak tangis seorang gadis yang menyerah akan cintanya. Cinta yang ia rasakan sendiri. 

“Lang, tolong katakan pada jangkrik-jangkrik itu untuk diam. Apa dia tidak tahu kalau aku sedang bersedih?!” kata Naaya sambil menghapus butiran air mata di pipinya. Gilang tersenyum mendengar permintaan sahabatnya itu. Sahabat yang dikenalnya sejak kecil. 

Sunyi mendekap kepekatan malam,
Diam membisu menunggu suara,
Hingga suara mereka mendahului kita,
Suara binatang malam.
Candanya, “Katakan pada mereka untuk diam,
Suara mereka mengganguku,
Mengganggu suasana hatiku”
Kataku, “Mengapa aku harus meminta mereka untuk diam?
Sedang mereka tak pernah memintamu untuk diam,
 apalagi memintamu untuk berhenti menangis”.
Malam masih membisu,
Hanya suara-suara binatang malam yang semakin jelas terdengar.

“... biarkan mereka bersuara, kita nikmati saja

(Makassar, 10 April 201) -Ina Novita-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar