Rabu, 23 April 2014

Pecundang Hati


 
“Apa aku jatuh cinta lagi?”
“Padanya?”
Pertanyaan ini selalu muncul dalam pikirannya.
Ia membolak balikkan lembaran buku yang ada di hadapannya. Namun, tak ada satupun makna dari buku yang tersangkut di kepala. Perasaannya seperti benang kusut. Ia tak bisa fokus menyelesaikan tugas kuliah. Ditutupnya buku yang penuh rumus-rumus itu kemudian menghembuskan napas panjang. Hatinya mulai mengakui bahwa Ia memiliki perasaan kepada seseorang yang sekarang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah di sampingnya. Namun, Ia mencoba menolak perasaan itu.
Diam-diam Ia mengamati, diam-diam juga benih-benih perasaan itu muncul di dirinya. Tak ada yang mengharapkan perasaan itu lahir dan berkembang, hingga Ia sendiri tak sanggup mengakui bahwa Ia jatuh cinta lagi, yah jatuh cinta untuk kesekian kalinya.
“Bukankah aku telah berjanji untuk tidak akan jatuh cinta lagi, hingga cinta yang ditetapkan-Nya menemukanku?” batinnya.
Menanggung rasa ini sendirian memang tak menyenangkan. Ketidakstabilan selalu timbul tenggelam, mengombang-ambingkan perasaan. Tapi, hidup masih berlanjut bukan, Ia harus terus berjalan ke depan.
Ia membuka kembali buku yang di hadapannya. Berusaha melupakan perasaan- perasaan yang terus menghantuinya. Setidaknya sampai Ia selesai mengerjakan tugas kuliah dan pulang ke rumah. Berharap besok Ia lupa semua perasaannya.

***

“Ahh, sampai kapan begini?” tanyanya dalam hati.
Ia tak bisa mengatur perasaannya sendiri. Mungkin sampai batas waktu yang tak bisa Ia tentukan. Sekarang yang bisa Ia lakukan hanya berupaya menghapus bayang-bayang rasa itu dan berpura-pura tidak sedang jatuh cinta. Walaupun Ia tahu, kenyaatan bahwa Ia jatuh cinta lagi itu tidak mudah. Yah, Ia tahu kalau semua itu tidaklah mudah.
“Haruskah aku berlari dari perasaanku sendiri yang bisa mengajar langkahku, haruskah aku bersembunyi dari perasaanku sendiri yang bisa menemukanku”.
Sepertinya, Ia sedang melakukan sesuatu yang sia-sia.

Dengan mulut yang tak bisa mengungkapkan rasa,
Dengan diam yang menyakitkan.
Dengan semua keadaan yang seolah mendukung perasaannya,
Dengan semua kenangan yang menyakitkan.
Haruskah mengulangnya kembali?
Tunjukkan padaku bagaimana cara berlari agar tak dapat dikejar,
Tunjukkan padaku tempat bersembunyi agar tak dapat ditemukan.
Aku sedang mencari-cari alasan.
Ia mengambil sebuah foto dari dompetnya. Fotonya bersama sahabat-sahabatnya. Foto itu diambil saat mereka liburan setahun yang lalu. Matanya tertuju pada salah satu sahabatnya.
Ia membuka-buka lagi kenangan itu, terus bertanya pada dirinya atas perasaannya sendiri. Menganalisis dorongan hati dan tindakan-tindakannya. Ia menyerah pada semacam kerumitan cinta yang membuatnya geram. Namun, Ia mencoba yakin. Ia menunggu keajaiban yang ditakdirkan untuknya.

Tok..tok..tok.. 

Terdengar ketukan pintu dari luar rumahnya. Ia menemui seseorang yang mengetuk pintu rumahnya sepagi ini. Tiba-tiba muncul seseorang di hadapannya. Seseorang dengan wajah yang tak asing baginya. Ia baru saja melihat wajah itu di foto.
“Apa kamu lupa dengan rencana kita pagi ini? mereka sedang menunggumu” kata orang itu.
 “ii..yaa... Aku siap-siap dulu.” jawabnya berusaha tenang.
Ia terlalu sibuk memikirkan perasaannya, hingga Ia hampir lupa dengan rencana liburan bersama sahabat-sahabatnya hari ini.
Seseorang itu telah beranjak, meninggalkan senyuman dan punggung yang semakin menjauh dari pintu rumahnya.
Semuanya terlalu jelas
Hanya tak ingin kita terluka
Tapi, akan membuatmu kecewa
Mungkin berpura-pura lebih indah
Walau ku tahu itu akan menyiksa..
Dan hal yang paling menyakitkan untuknya adalah saat seseorang yang Ia cintai itu, ternyata juga mencintainya.

“Pecundang hati itu, saat kau sibuk mencari alasan untuk tidak mencintai
seseorang yang kau cintai”.

(Makassar, 23 April 2014) -Ina Novita-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar