Selasa, 13 Mei 2014

"Bangun cinta"

Orang dewasa yang berada jauh dari orang tua akan sering merindukan ibu.  Mungkin karena ibu lebih sering menelpon untuk menanyakan keadaan setiap hari. Namun, sesungguhnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk menelponmu. Saat kecil ibu memang sering mendongeng. Namun, sepulang kerja dengan wajah berminyak karena kelelahan, ayahlah yang menanyakan apa yang kamu lakukan seharian.

Saat kamu batuk atau pilek, ayah membentak, “Sudah dibilang jangan minum es,” karena ayah khawatir. Saat remaja, kamu menuntut untuk boleh keluar malam. Ayah melarang karena hanya ingin menjaga anak yang dikasihinya.

Saat kamu melanggar aturan jam malam, ayah selalu menunggu di ruang tamu dengan cemas. Ketika kamu pamit hendak kuliah di kota lain, badan ayah seperti kaku ingin memelukmu. Saat kamu merengek keperluan ini itu, ayah mengernyitkan dahi. Tanpa menolak ayah memenuhinya. Saat kamu wisuda, ayah orang yang pertama berdiri dan bertempik sorak kegirangan. Ayah tersenyum bangga.

Sampai saat ketika calon pasangan datang minta izin mengambilmu. Dengan hati-hati ayah mengikhlaskanmu disunting. Saat melihatmu duduk di pelaminan dengan orang yang dianggap layak, ayah sangat berbesar hati.

Ayah berdoa dalam hati, Ya Tuhan, jihadku sudah selesai. Setelah itu, ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu membawa cucu-cucunya. Tentu dengan rambut memutih dan tubuh mulai renta. Ia sudah tidak begitu kuat lagi untuk melindungi, menjaga dan merawatmu.

Dari kisah heroik seorang ayah di atas bisa ditemukan perbedaan jatuh cinta dan bangun cinta. Jatuh cinta dalam keadaan menyukai. Bangun cinta diperlukan dalam keadaan jengkel. Cinta bukan lagi berwujud pelukan, melainkan itikad baik memahami konflik. Bersama-sama mencari solusi yang dapat diterima kedua belah pihak. Cinta yang dewasa tidak menyembunyikan unek-unek.

Dikutip dari buku “Guru Gokil Murid Unyu”, karya J. Sumardianta.
*Peluk jauh mama, bapak* :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar