Kamis, 20 Maret 2014

Menjingga Bersama Senja


Yang pamit untuk pergi, apa masih ingat jalan pulang?
Yang bersedia ditinggalkan, apa masih sabar menunggu?
Yang membuat janji bertemu, apa masih bisa menepati?
Jingga menerawang setiap rasa dari seseorang yang berjalan pergi dan seseorang yang diam menunggu. Ada banyak alasan mengapa seseorang harus pergi. Ada banyak pula alasan mengapa seseorang masih menunggu. Entah siapa yang dituntut untuk mengerti. Entah siapa yang diminta untuk merasakan rindu. Mungkin sebuah keyakinan yang bisa menjawab, meski terkadang dengan air muka yang kurang meyakinkan.
Saat muda menyukai senja. Berharap senja bisa menyampaikan rindunya. Meski sebenarnya senja pun sedang merindu, entah pada siapa. Kedua insan percaya, mereka sedang berbicara walau mata tak saling menatap. Teriring doa disetiap munculnya warna jingga milik senja. Yang pergi berharap, seseorang yang menunggu akan terus sabar menunggu. Yang menunggu berharap, seseorang  yang pergi akan segera pulang.
Senja akan selalu indah,
walau dinikmati di tempat yang berbeda, Percayalah!
Saat muda suka mengumbar janji. Kalau seperti ini, siapa yang akan menepatinya? Ini bukan masalah jarak yang terbentang luas. Juga bukan masalah waktu yang tak bisa disatukan. Ini sebuah pertanyaan, sampai dimana seseorang berjuang menepati janjinya? Lalu mengapa hanya diam?
Mencoba menemukan,
sedang posisiku masih dalam keadaan diam.
Mencoba menemukan,
sedang gerakkanku tak mampu menyamakan gerakanmu.
Sebelum ku lanjutkan, ku tarik napas panjang,
lalu ku coba menemukanmu secara perlahan-lahan.
Temukanlah, sebelum terucap kalimat menyerah, “Aku tidak menunggumu, aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja” atau kalimat ragu-ragu, “Aku tidak tahu kapan akan pulang, mungkin aku akan bertahan di sini”. Mulailah berjuang, mulailah mengejar cintamu dengan cara-cara yang sederhana, dengan doa misalnya. Karena tantangan-tantangannya akan semakin meningkat kesulitannya dengan sangat cepat.
Namun, hati siapa yang tidak sakit ketika ada bisikan yang mengatakan, yang pergi tidak akan pulang. Seperti ingin berlari di tengah rintik hujan. Menyembunyikan air mata yang mengalahkan derasnya hujan. Menurutnya ini lebih bijak, daripada memaksa seseorang untuk pulang.
“Temukanlah, selagi kamu bisa memilikinya. Suatu saat, kau bisa menemukannya, tetapi kamu tak bisa lagi memilikinya.
Menua bersama senja saat waktu melaju dengan cepat. Menua bersama senja saat jingganya terlukis indah. Di tempat yang berbeda mereka berburu senja, berharap senja mendengar curahan hati mereka.
Aku menyapa senja...
Berharap menemukan kedamaian di sana.
Aku menyapa senja...
Berharap warna jingga akan tetap abadi.
Aku meyapa senja...
Berharap senja tak akan berlalu.
Aku menyapa senja...
Berharap takkan ada gelap setelahnya.
Aku menyapa senja...
Berharap senja menyapaku balik.
Aku menyapa senja...
Namun, senja tak mendengarku...
Saat puluhan senja telah pergi, seseorang yang ditunggu tak kunjung datang. Janjipun mungkin telah dilupakannya. Saat puluhan gelap malam menggantikan jingganya senja, ada yang masih bertahan. Sendirian.
Ia pun masih menunggu bersama senja yang menjingga.

           
(Makassar, 18 Maret 2014) -Ina Novita-






Tidak ada komentar:

Posting Komentar